Indonesia Merupakan Penyumbang Revenue Tertinggi di Internasional
Indonesia
sudah tidak diragukan merupakan pasar yang subur bagi negara-negara maju. Di
bisnis digital, Indonesia termasuk menjadi penyumbang pemasukan (revenue)
tertinggi bagi pemilik layanan, konten, dan pengembang aplikasi dari luar
negeri.
Nilainya pun
cukup fantastis. Jumlah uang yang "lari" keluar dari bandwidth
internet dan konsumsi aplikasi atau konten luar ditaksir mencapai Rp 15 triliun
per tahun.
Hal tersebut
disampaikan oleh Henri Kasyfi, Co-Founder dan Comissioner di IDC Data Center
dalam seminar yang membahas tentang kedaulatan internet Indonesia yang
diselenggarakan di Jakarta.
Dijelaskan
oleh Henri, dari jumlah populasi 251 juta orang, pengguna aktif internet di
Indonesia saat ini ditaksir sekitar 71,2 juta, dengan pengguna sosial media
aktif per bulannya 70 juta orang.
Di sisi lain,
pelanggan seluler di Indonesia mencapai 314 juta orang dengan 48 juta di
antaranya menjadi pengguna aktif media sosial mobile. Dengan angka yang
fantastis tersebut, sayangnya konten-konten yang dikonsumsi masih didominasi
oleh konten dan aplikasi buatan pihak luar.
Dalam hal
jejaring sosial misalnya, jumlah pengguna Facebook di Indonesia menjadi yang
terbesar keempat di dunia dengan jumlah 64 juta orang. Sementara untuk jumlah
pengguna Twitter, Indonesia berada di peringkat kelima.
Menurut
Henri, jumlah revenue yang didapat jejaring sosial Facebook jika dibagi dengan
jumlah penggunanya di kuartal 1 2014 lalu, maka akan didapatkan angka 2 dollar
AS per pengguna. Dengan perhitungan tersebut, Indonesia telah menyumbangkan
sekitar 500 juta dollar AS untuk Facebook.
Sementara
untuk jejaring sosial Twitter, Henri yang juga merupakan Chairman
KlikIndonesia.org itu menyebut sumbangan dari pengguna di Indonesia saja
mencapai 120 juta dollar AS per tahun, dan dari sektor lain seperti situs web
dan aplikasi mobile mencapai 500 juta dollar AS.
"Jadi
kalau dihitung-hitung, (pengguna internet) Indonesia itu menyumbang sekitar 1,2
miliar dollar AS (sekitar Rp 15 triliun) ke pihak luar dalam setahun,"
demikian kata Henri.
Ditambahkan
oleh Henri, dari jumlah kunjungan pengguna internet ke situs-situs luar, jika
ditotal dalam satu tahun, bandwidth trafik dari Indonesia bisa mencapai 500
Gbps atau setara dengan 600 juta dollar AS (atau Rp 7,2 triliun).
Menurut
Henri, Indonesia masih akan terus menjadi negara konsumtif karena aplikasi dan
konten yang ada di dalam negeri saat ini belum bisa bersaing dengan aplikasi
dan konten buatan luar.
"Mengapa
tidak bisa bersaing? Karena di luar sana ekosistemnya sudah terlanjur kuat,"
kata Henri.
Henri
mengatakan, yang membedakan konten lokal dengan buatan luar adalah di luar sana
selain ekosistemnya sudah komplit, hukum, peraturan dan pajaknya lebih
dipermudah. Sementara di Indonesia), selain ekosistemnya hampir belum ada,
peraturan (undang-undang) juga belum lengkap dalam mengatur.
Indonesia,
menurut Henri, bisa dibilang kehilangan kedaulatannya di ranah digital.
Menurutnya ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibanding
negara lain.
Faktor-faktor
tersebut antara lain konten global yang dianggap lebih "seksi" bagi
operator telekomunikasi dibanding konten lokal, sehingga lebih didorong dengan
banyak promosi dan program.
Dengan
demikian, konten-konten lokal seolah di-anaktirikan, sehingga menyebabkan
ekosistem yang sulit untuk berkembang.
Selain itu,
Kesadaran potensi konten lokal yang sebenarnya menarik bagi pasar internasional
juga diakui Henri masih rendah.
Karena itu,
untuk menciptakan kedaulatan digital (digital sovereignty), dibutuhkan
ekosistem digital nasional yang di dalamnya meliputi data manajemen yang rapi,
ekonomi digital yang sudah berjalan dengan baik, serta didukung oleh teknologi
yang mendukung. (MEDANFOTO/Was/14)
0 komentar: